5 Profesi Bule Paling Tidak Lazim Di Indonesia - Indonesia dikenal kaya akan keindahan alam dan budaya. Tak heran jika selama ini banyak dilirik para wisatawan mancanegara bahkan tak sedikit dari para warga asing yang ingin mengadu nasib bahkan menetap lama di Indonesia. Namun, beberapa orang asing di bawah ini mempunyai cara yang unik dan cenderung tidak lazim yang mereka lakukan selama berada di Indonesia.
Alasan mereka untuk tinggal di Indonesia karena untuk mencari uang serta mengais rejeki bahkan beberapa diantaranya karena mengaku cinta pada tanah air. Jika dilihat dari asal mereka, Indonesia tidak lebih maju dari negaranya. Namun, menariknya kelima bule ini rela memilih pekerjaan yang tidak lazim bagi seorang warga asing. Kegigihan dan perjuangan kelima pria ini patut dicontoh.
Berikut adalah 5 Profesi Bule Paling Tidak Lazim Di Indonesia :
1. Sergei Litvinov, Penjual Es Jus di Solo
Pria asal rusia harus bertahan hidup dengan mencari uang sebagai pedagang es jus di salah satu sudut Kota Solo. Sergei bukan pria asing biasa yang datang ke Indonesia. Ia merupakan pemain sepakbola profesional yang bergabung di PSLS Lhokseumawe dan berlaga di kompetisi Indonesia Premier League sejak 2013. Sialnya selama membela PSLS mulai dari Maret hingga Desember 2013, ia belum menerima gaji.
Sebelumnya, Sergei pernah memperkuat tim Solo FC di Indonesia Premier League pada tahun 2011. Piutang Sergei pada PSLS Lhokseumawe mencapai Rp 124 juta. Tak ada kejelasan kapan kesebelasan itu akan membayarnya. Tanpa gaji, Sergei kesulitan makan, dan tidak bisa pulang ke kampung halamannya karena terpentok biaya bahkan kini ia juga pusing karena sang istri meminta cerai.
Kini Sergei kembali ke kota Solo dan tak lagi merumput. Selain tak punya pekerjaan, Sergei juga tak membawa uang sebab gajinya selama membela PSLS belum juga cair. Untuk bertahan hidup, Sergei melakukan pekerjaan serabutan termasuk berjualan jus di kedai jus. Selain itu, ia ikut membuat kanopi untuk rumah di kawasan Banyuanyar. Ia mengaku membutuhkan uang sebesar Rp20 juta untuk bisa pulang ke Rusia. Selama ini mengaku kesulitan mengumpulkan uang karena digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari.
2. Fabrizio Urzo, Pedagang Gorengan di Surabaya
Gorengan sudah menjadi makanan ringan yang tak asing bagi lidah orang Indonesia, namun ada yang berbeda dengan gorengan yang berada di Jalan Manyar, Kertoarjo, Surabaya. Gorengan yang biasa dijual oleh orang pribumi kini diracik oleh pria asal Italia bernama Fabrizio Urzo. Demi mengais rejeki di negara orang, Fabrizio memilih menjual gorengan di pinggir jalan utama di Kota Kertoardjo ini karena di wilayah tersebut ramai dilewati kendaraan melintas.
Pria asal Italia ini sudah 10 tahun tinggal di Indonesia. Siapa sangka dulunya ia bekerja sebagai General Manager salah satu restoran Italia di jalan Imam Bonjol, Surabaya. Namun sejak awal 2014, dirinya memutuskan berhenti bekerja meski posisi pekerjaannya sudah tinggi, ia lebih memilih berwirausaha sendiri dengan berdagang gorengan. Gorengan yang ia jual bermacam macam dan terhitung harganya cukup terjangkau.
Terbukti, gorengan milik Fabrizio selalu ramai dikunjungi para pembeli. Selain membeli gorengan, pembeli juga dapat menikmati kopi robusta yang bisa dipesan selagi menunggu gorengan matang. Maklum, gorengan bikinan Fabrizio cepat sekali habis. Meski memiliki riwayat sebagai bos restoran, Fabrizio tidak merasa malu jika sekarang profesinya adalah seorang pedagang gorengan.
3. Glen, Penjual Burger dan Donat di Purwokerto
Burger dan Donat dikenal sebagai makanan ringan khas orang barat, namun, bagaimana jadinya jika yang berjualan burger dan donat di pasar tradisional benar benar orang barat? Hal itu yang terjadi di Purwokerto, Jawa Tengah. Demi memenuhi biaya berobat istrinya, Purwita yang terserang penyakit kanker serviks, pria asal Amerika Serikat ini rela berjualan burger dan donat bikinan sendiri yang berlokasi di pinggir pasar.
Hal ini juga sebagai wujud cinta kasihnya terhadap istri yang dicintainya. Glen tinggal di Kelurahan Kober, Kecamatan Purwokerto, Kabupaten Banyumas, harus berjualan burger dan kue donat setiap hari. Glen memang harus bekerja keras membantu istrinya berjualan burger dan donat demi mengumpulkan uang untuk berobat. Sejak istrinya divonis mengidap kanker serviks, Glen bertambah giat dan semangat untuk berjualan.
Sebelumnya Glen bekerja sebagai tenaga pendidik di salah satu lembaga pendidikan swasta. Namun kini dia harus bekerja sebagai pedagang burger dan donat. Glen juga dibantu salah satu anaknya, Jasmine. Glen dan Purwita berjualan burger dan donat sejak pukul 16.00-20.00 WIB. Untuk burger mereka menjualnya mulai harga Rp7.500-Rp10 ribu. Sedangkan untuk donat mereka menjualnya dengan harga Rp2.500-Rp3.500. Yang unik, Glen berjualan burger dan donat ini sambil memasang papan bertuliskan 'Jual Burger dan Donat, Mohon Doakan Istriku yang Sakit'.
4. Andre Graff, Penggali Sumur di Sumba Barat
Pria bernama Andre Graff, seorang warga Prancis, memilih meninggalkan segala kemapanan hidup di negerinya untuk mengembara dan menetap di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Ini demi menjalani kehidupan sebagai tukang penggali sumur bagi warga yang hidupnya terdera kekeringan berkepanjangan. Pria yang akrab disapa Andre Sumur ini menjadi salah satu pahlawan bagi warga di tempat tinggalnya, Lamboya, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur karena perjuangannya mengadakan sumur gali bagi warga Sumba dan Sabu Raijua.
Keputusan pergi dari Prancis dan akhirnya tinggal di bawah langit Sumba Barat, menurut Graff, memiliki rentetan kisah sejarah tersendiri. Graff berlatar belakang seorang pilot balon udara. Selama puluhan tahun ia juga memimpin perusahaan balon udara di Perancis untuk pariwisata. Dia suka menerbangkan balon udara melewati Pegunungan Alpen. Graff dan beberapa temannya memilih berlibur ke Bali. Setiba di Pulau Dewata dan melewatkan hari hari dalam atmosfir budaya serta alam lingkungan yang eksotis, mereka menyewa sebuah kapal dan melakukan perjalanan wisata hingga ke kepulauan di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kepulauan Riung, Sabu Raijua, Sumba dan Lembata, menjadi persinggahan wisata Andre dan teman temannya. Tertarik dengan kehidupan penduduk lokal, Andre langsung memutuskan tinggal sejenak untuk mengabadikan aktivitas keseharian warga dalam menjalankan roda kehidupan menggunakan kamera. Namun sejak Juni 2005, ketika dia singgah di Sabu Raijua dan menetap di kampung adat Ledetadu. Ia melihat bahwa warga di kampung tersebut kesulitan air bersih.
Setiap hari mereka harus berjalan 2 kilometer untuk mengambil air sumur di dataran rendah. Ia pun merasa prihatin, lalu bertemu dengan Pastor Frans Lakner, SJ yang sudah 40 tahun mengabdi di Sabu. Dia mengajari saya bagaimana mencari air tanah, menggali sumur, dan membuat gorong gorong dari beton agar air tak terkontaminasi lumpur. Gorong gorong itu bertahan sampai bertahun tahun kemudian.
Berkat air sumur, warga bisa menanam sayur, jagung, buah, dan umbi umbian di sekitar rumah. Mereka bisa menjual hasil kebunnya ke pasar untuk membeli beras dan kebutuhan lain. Akhir 2007, ia memutuskan pindah ke Lamboya, Sumba Barat, setelah warga Sabu Raijua bisa membuat sumur sendiri. Ia tinggal dengan Rato (Kepala Suku) Kampung Waru Wora, Desa Patijala Bawa, Lamboya. Di sini, ia membentuk kelompok pemuda beranggota sembilan orang untuk membuat gorong gorong yang disebut GGWW (Gorong gorong Waru Wora).
Selain pembuatan sumur, Andre juga berkeinginan membuat filtrasi air di Lamboya, agar masyarakat bisa langsung menikmati air sumur tanpa memasaknya lebih dulu. Selain hemat waktu, adanya filtrasi juga mengurangi kerusakan dan pencemaran lingkungan karena masyarakat tidak terlalu banyak masak menggunakan kayu bakar. Andre berharap pemerintah memiliki kepedulian terhadap langkah langkah yang telah dilakukan terhadap masyarakat, agar selanjutnya bisa saling berkolaborasi ketika melakukan program kegiatan. Salut!
5. Gavin Birch, Pemungut Sampah di Lombok
Sama halnya dengan Andre Graff, hal luar biasa juga dilakukan oleh Gavin Birch, pria asal Perth, Australia. Selama 24 tahun, dia bekerja membersihkan sampah di Pantai Senggigi, Lombok Barat tanpa pamrih. Bahkan, lelaki berusia lebih dari 70 tahun ini telah berganti nama menjadi Khusen Abdullah. Kini ia dikenal sebagai turis pemulung di daerah Senggigi.
Meski warga Lombok menyebut dirinya sebagai bule gila karena pekerjaannya yang bergumul dengan sampah, tapi Khusen tidak peduli dengan penilaian orang. Yang jelas, dia yakin dengan perjuangannya untuk mengajak orang hidup bersih. Khusen pertama kali menginjakkan kakinya di Pulau Lombok pada tahun 1986 sebagai turis. Niatnya untuk berlibur dan menikmati keindahan alam di Lombok berujung kekecewaan karena yang dilihatnya bukan pantai biru nan indah, namun tumpukan sampah.
Bahkan di Pantai Ampenan, yang menyimpan potensi wisata, penuh dengan kotoran manusia. Namun, Khusen tak langsung beranjak dan pergi menjauh. Dia mengaku yakin pantai yang disinggahinya saat itu akan berubah menjadi indah jika masyarakat peduli kebersihan. Sejak itulah Khusein bergerak sendiri, memungut sampah di sekitar pantai dan mengumpulkannya. Tindakannya menarik perhatian.
Berpredikat sebagai turis gila atau pemulung tidak membuat Khusen menjadi rendah diri. Meski, di negeri asalnya dia adalah pengusaha rumah makan di Perth dan Dampier Broome, Australia. Saat itu Khusein juga memiliki rumah singgah di Bali yang dibeli atas nama istri pertamanya, yang asli Jakarta. Khusen tak sekedar memungut sampah. Dia mengolahnya. Khusen memiliki teknik tersendiri untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos.
Sedangkan limbah plastik yang dikumpulkan dihancurkan dengan mesin penghancur yang dibelinya dengan dana sendiri. Program lingkungan bersih yang diterapkannya di Indonesia merupakan program yang diadopsi dari gerakan bersih di Australia yang dikenal sebagai Keep Australia Beautiful. Tahun 1996 melalui Yayasan Sosial Cinta Lingkungan, Khusein menerapkan programnya di Kecamatan Kediri Kabupaten Lombok Barat.
Kini di usia senjanya Khusein dibantu oleh seorang pemuda bernama Edi Bakin yang mulai bergerak di kampung kampung untuk mengangkuti sampah dari perkampungan. Kini sepanjang pantai yang berada disekitar tempat tinggal Khusein di Senggigi tampak bersih dari sampah, baik dedaunan apalagi sampah plastik.